(Ilustration) |
Keempat, orisinalitas bahasa Arab. Mengapa bahasa Arab yang dipilih Allah? padahal saat itu ia adalah bahasa yang paling sedikit digunakan dibanding bahasa-bahasa besar dunia, seperti latin, atau Persia, atau Cina, atau India. Karena Allah-lah yang Maha Tahu bahwa d sana ada landasan kokoh untuk menampung bangunan keilmuan masa depan, bahkan akan dipakai hingga hari kiamat dan di akhirat nanti.
Bahasa Arab mempunyai daya kalimat yang sangat tinggi, sehingga ia terungkap dalam beberapa kata namun berarti beberapa jilid buku. Ia memiliki probabilitas penggunaan kalimat sangat luas. Misal, ada 500 kata untuk menamai ‘singa’, 1000 kata untuk ‘pedang’, atau 4000 kata untuk ‘cerdas’. Dengan kekokohan bahasa ini, Qur’an menjelaskan seluruh persoalan hidup manusia dengan kosa kata yang tepat, sangat singkat, tapi akan pernah habis tinta samudera menulis makna-maknanya.
Dan penduduk Mekkah-lah pengguna terkuat bahasa Arab saat itu. Sehingga orang-orang kafir Quraisy sangat hati-hati untuk tidak mendengar Qur’an. Karena mereka faham mukjizatnya, mereka tidak akan mampu menahan hatinya agar tidak melayang saat mendengarnya. Karena bahasa Arab, mereka paham, bahkan mereka yakin bahwa Qur’an itu bukan karya manusia. Seribu penyair mereka pun tidak mampu menjawab tantangan Qur’an untuk membuat semisalnya.
Kelima, dakwah kepada yang terdekat. Persaudaraan Islam adalah persaudaraan keyakinan, bukan ras dan daerah. Penduduk bumi telah lupa bahwa hidup punya pencipta. Semuanya lupa dan melupakan, kecuali penduduk Mekkah. Mereka sadar itu, karena ”jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Niscaya mereka menjawab, Allah, jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan” [az-Zukhr: 87].
Jika aqidah itu terbagi menjadi tiga, yaitu yakin dengan pencipta [tauhid rububiyah], hanya menyembah pencipta yang satu [tauhid Uluhiyah] dan yakin dengan kesempurnaan sifat pencipta [tauhid asma wa shifat], maka masyarakat Mekkah masih mempunyai yang pertama. Itulah sebabnya mereka lebih diprioritaskan untuk didakwahi, karena hati mereka lebih mungkin menerima kebenaran Islam dibanding masyarakat ateis.
Yang menjadi masalah adalah pemahamannya. Saat mereka tidak beribadah kepada Allah, tapi kepada berhala, kepada materi, kepada dunia, sembari berkata, “kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” [az-Zumar: 3].
Keenam hingga kesepuluh: adalah karakter bawaan mereka. Karakter paling dasar penduduk Mekkah adalah jujur, dermawan, pemberani, harga diri, dan sabar. Karakter-karakter itu adalah hasil didikan lingkungan dan tradisi mereka. Sehingga saat Abu Sufyan yang masih kafir ditanya Heraklius tentang pribadi Muhammad, harga dirinya melarangnya berbohong. Ia malah menjadi juru bicara penyampai risalah Islam, hingga ia berkata, “demi Allah, kalau saja aku berbohong, orang-orang tidak akan lagi menganggapku”.
Penduduk Mekkah tidak pernah menghitung untung rugi demi menjamu tamu, atau mendukung pemikiran yang mereka yakini dengan mengorbankan seluruh emas, rumah, bahkan recehan terkecil. Lelaki mereka tidak sudi mati di atas permadani, dan berbangga jika bersakit luka dalam perang. Bahkan hingga kematian menjemput, mereka tetap bersyair atas kebanggaan akan mati di sana. Mereka tidak menerima hidup dalam kehinaan. Jika harga diri salah seorang dari suku mereka terkoyak, puluhan tahun peperangan pun siap dikobarkan demi membelanya. Dan mereka adalah manusia-manusia yang paling tahan terhadap ujian hidup. Mereka sabar saat fakir, lapar, sakit dan penantian. Alam mereka menuntut mereka untuk tumbuh seperti itu. Walau terkadang karakter-karakter bawaan itu terjun ke jurang kehancuran. Saat dermawan menjadi boros, berani menjadi beringas dan ceroboh, harga diri menjadi sombong, dan sabar menjadi lamban.
Tapi saat Islam mewarnai jiwa mereka, terciptalah kesempurnaan antara ambivalensi sifat itu dengan arahan-arahan yang moderat. Sehingga muncullah pahlawan-pahlawan seperti dalam mitos. Abu Bakar dan Utsman yang berkali-kali kaya dari bisnisnya lalu berkali-kali memulai lagi dari nol setelah mereka berinfak. Atau Khalid yang lantang menantang Kisra Persia, “anda sedang menghadapi pasukan yang sangat mencintai kematian seperti anda mencintai hidup”, tapi ia tetap rasional dalam berstrategi seperti dalam perang Mu’tah. Atau seperti harga diri Rasul dan sahabat di Madinah yang menggelar Fathu Makkah, karena kafir Quraisy menodai perjanjian Hudaibiyah. Dan kesabaran mereka teruji sejak masa penindasan pembesar Quraisy hingga perang Ahzab.
Semua karakter alami Mekkah ini mengajarkan kaidah-kaidah membangun umat Islam saat ini dan masa depan. Bahwa umat harus menjaga orisinalitas sumber agamanya [Qur’an dan Sunnah] dari tuduhan dan penodaan; bahwa Allah-lah yang mutlak memberikan kemenangan-kemenangan gemilang Islam walau umat dalam jumlah yang sedikit; bahwa umat Islam boleh memanfaatkan sistem-sistem sosial-politik buatan manusia yang ada selama tidak menyentuh batas aqidah dan syariah; bahwa generasi pemegang kendali kepemimpinan masa depan adalah generasi yang menguasai bahasa Arab sehingga mereka memahami inti Islam dan menancapkan pemahaman itu hingga ke setiap pori-pori jasadnya untuk bergerak; bahwa dakwah dimulai dari yang terdekat dengan fikrah Islam; bahwa generasi baru Islam tidak akan bangkit kecuali kejujuran, keberanian, pengorbanan, harga diri, dan kesabaran tertancap kuat dan menjadi karakter dasar hidup mereka. Inilah sepuluh hikmah kesederhanaan Mekkah yang menjadi kekuatan Islam.
0 comments: